Rabu, 25 Juni 2008

Artikel

http://www.bigs.or.id/
Gaji Gaji Dosen: Sekali Keluar Rumah Dua Tiga Kampus Terlampaui

Bandung itu setidaknya ada 74 perguruan tinggi dengan delapan perguruan tinggi negeri dan 66 perguruan tinggi swasta. Jumlah mahasiswanya diperkirakan mencapai lebih dari 150 ribu orang. Sementara jumlah dosennya diperkirakan mencapai belasan ribu orang. Sebanyak 7.568 orang dosen perguruan tinggi swasta dan 4.206 orang dosen perguruan tinggi negeri (ITB, Unpad dan UPI). (Bandung dalam Angka, BPS, 2003).DULU dosen itu disebut mahaguru, anak didiknya disebut mahasiswa. Maha adalah yang tertinggi, yang terbaik, begitu pula kemudian profesi ini diberi arti. Mahaguru: mahanya para guru. Tapi entah kenapa terjadi penyusutan arti, kini sebutan mahaguru hanya untuk profesor, guru mahasiswa selain profesor, sebutannya ya dosen itu. tapi bagaimana pun rasanya tak seorang pun akan menafikan bahwa profesi dosen adalah istimewa, mulia dan adiluhung. Dosen jelas berbeda dengan guru. Ada kewajiban lain yang melekat pada dirinya. Kewajiban mengamalkan Tri Dharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya, seorang dosen itu, selain sebagai pengajar atau pendidik dia pun harus menjadi seorang peneliti. Maka dari itu, mutlak pula seorang dosen itu harus juga rajin-rajin membaca buku, setidaknya buku yang berhubungan dengan studi yang diajarkannya biar tidak ketinggalan oleh mahasiswanya, termasuk ikut seminar, diskusi, kursus dan tentu saja meneliti. Bagaimana mungkin menjadi penyidang hasil penelitian mahasiswa (skripsi, thesis dan desertasi) jika dia bukan seorang peneliti.Tidak bisa dinafikan, cukup terjal perjalanan seseorang menjadi dosen. Saringannya cukup ketat. Tidak cuma mesti lulus dengan IPK yang sangat baik, IQ pun harus di atas rata-rata. Kemampuan berbicara dan kemampuan menulis pun menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Jika dosen yang bergelar sarjana strata satu (S1) kemudian sekolah lagi, itu hal jamak. Di beberapa perguruan tinggi swasta, seorang dosen pemula ternyata tidak cukup dengan bekal sarjana strata satu, gelar S2 dan S3 lebih diperhatikan. Tapi itu pun tidak menyurutkan orang berbondong-bondong melamar menjadi dosen.Lantas, mengapa orang mau menjadi dosen? Bahwa citra yang tinggi dinilai masyarakat mungkin benar, tapi bukan itu yang menjadi alasan utama para dosen ini mau ‘berpeluh-peluh’ mengabdi. Wakil Rektor Bidang Sumberdaya ITB, Deny Juanda Puradimaja menyebut, mengapa orang mau menjadi dosen karena dengan menjadi dosen seseorang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan diri dan keilmuannya. “Selain itu berdasarkan stratifikasi sosial yang ada di masyarakat, sampai saat ini citra dosen cukup baik,” katanya.Dengan mejadi dosen pun orang pun bisa berbagi ilmu. Setidaknya itu diungkapkan oleh dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba, Askurifai Baksin.“Sebelum jadi dosen saya adalah praktisi. Saya jadi dosen selain karena ada kesempatan, saya pun ingin berbagi ilmu yang saya miliki,” katanya. Sebelumnya Askur memang pernah jadi wartawan di berbagai media cetak. Saat ini pun ia masih bergelut dibidang praktisi jurnalistik dengan memberikan pelatihan melalui lembaga yang dipimpinnya, Intermedia.Budi Rajab, dosen senior dari Universitas Padjadjaran punya jawaban lain. Katanya, menjadi dosen itu karena kepingin saja,bukan lantaran idelisme bisa menyumbangkan banyak gagasan, pikiran dan lain-lain. “Tidak begitu, senang aja. Kan jadi dosen itu bisa banyak bicara dan bisa ngomong tentang segala “ sesuatu “. Ya begitu aja lah,” katanya.Hal yang berbeda justru disampaikan oleh, sebut saja Halim dosen tidak tetap sebuah PTN di Kota Bandung. Ini lebih realistis dan pragmatis. Katanya kesempatan menjadi dosen ia coba raih karena profesi ini menjanjikan kemapanan. Selain, kalau diterima, ia akan menjadi PNS yang penghasilannya teratur, jenjang karirnya pun cukup jelas. Karena itu pula ia tidak segan untuk magang di almamaternya itu meski tidak dibayar. Ia pun tidak merasa sayang mengeluarkan biaya sendiri untuk masuk pasca sarjana di sebuah universitas ternama di kota ini.Tampaknya ‘harapan’ untuk menjangkau sebuah kemapanan memang menjadi pemicu semangat. Bukan hanya untuk menjadi dosen PNS, tapi juga menjadi dosen swasta. Tak heran, banyak yang bersedia dibayar ‘murah’ demi sebuah referensi agar berpeluang menjadi dosen tetap: pernah mengajar di sebuah perguruan tinggi! Murahnya bayaran para dosen swasta ini memang sudah menjadi rahasia umum. Sebagai ilustrasi, seorang dosen tidak tetap di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung Timur, bersedia dibayar hanya Rp 15 ribu per SKS dengan pertemuan empat kali sebulan. Dengan mengajar empat SKS, artinya ia hanya dibayar Rp 60 ribu per bulan. Lebih kecil dan jauh lebih murah daripada upah minimum kota (UMK) sekalipun.Tapi tentu saja angka itu bisa berbeda di tempat lain. Jumlah mahasiswa dan nama perguruan tinggi swasta yang punya nama akan berbeda memperlakukan dosen tidak tetapnya.Tapi rata-rata per SKS nya sekitar Rp 30 hingga 40 ribu,per bulannya. Itu pun kalau full mengajar. Kalau absen sekali saja, total penghasilan akan berkurang. Maka tak aneh pula, kalau banyak dosen swasta yang kemudian ‘membuka warung’ di berbagai tempat. Mengajar dari satu kampus ke kampus yang lain. Tujuannya utamanya mendapat referensi,tujuan lain yang seringkali lebih penting: mengejar setoran. Menutupi kebutuhan.Tapi ternyata hal ini bukan melulu dilakukan oleh para dosen swasta. Dosen negeri yang nota bene seorang PNS pun tak terhitung melakukan hal yang sama. Inilah yang kemudian dianggap sebuah kewajaran. Alasannya struktur gaji yang sekarang jauh dari memadai.“Kalau gaji memadai, katakanlah Rp 5 juta.Dia tentu akan optimal dalam mengajar,meneliti dan lainnya. Dalam pikirannya tak akan terpikir mengajar atau ngobyek di tempat lain.Tapi selama gajinya belum tinggi, pikirannya adalah,wah gua harus ngajar di mana lagi nih,” kata Askurifai.Sebuah ilustrasi disampaikan oleh Hadi Suprapto Arifin, Kepala Humas Unpad. Menurut dia, dosen PNS dengan golongan 3A, standar gajinya sekitar Rp 800 ribuan sama dengan golongan 3A tenaga administrasi. Tapi dosen lebih besar dengan tunjangan sekitar Rp 300 ribuan. “Di luar itu dia bisa mengajar di mana-mana. Misalnya di ekstensi dan D III. Ujung-ujungnya penghasilannya lumayan,” katanya.Jadi lumayannya itu memang dari mengajar di mana-mana. Meskipun untuk Unpad, kata Hadi mereka bisa mengajar di program program D III atau ekstensi yang memang terdapat di kampus dengan jumlah mahasiswa terbesar di Kota Bandung ini. Dan biasanya, perguruan tinggi pun tidak keberatan soal itu.“Sejauh tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dipenuhi. Bagi Unpad, mengajar di luar itu bukan hanya sekedar menambah penghasilan, tapi juga merupakan wujud kepedulian Unpad terhadap kawan-kawan di luar. Kawan-kawan di perguruan tinggi swasta,” katanya.Menurut Hadi,mengajar di tempat lain itu merupakan salah satu bentuk dalam proses kerjasama. Karena itu pula maka menjadi lumrah banyak perguruan tinggi swasta memasang logo Unpad papan nama perguruan tingginya. “Itu boleh karena memang bagian dari membantu. Apalagi ada yang jadi dekan atau bahkan rektornya itu dosen Unpad. Tapi tentu saja ini tidak abadi. Kalau kaderisasi perguruan tinggi swasta itu sudah jalan, dosen-dosen Unpad itu bisa dipulangkan. Itu salah satu bagian dari Tridharma perguruan tinggi, sebagai bagian dari mengabdi. Di luar itu kami pun mendapatkan fee. Jadi tidak ada masalah,” katanya.Kebolehan ini bukanlah melulu sikap Unpad. Beberapa perguruan tinggi lain juga menganggap wajar upaya dosen-dosennya mengajar di tempat lain dengan alasan mengabdi tapi berujung penambahan penghasilan itu.Yang secara terbuka berbeda pendapat disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Sumberdaya ITB, Deny Juanda Puradimaja. Kata dia, dosen ITB yang mengajar di perguruan tinggi lain dimaksudkan untuk mengisi kerjasama kemitraan dengan berbagai perguruan tinggi. “Beberapa dosen ITB memang mendapat penugasan mengajar di perguruan tinggi mitra, tetapi tidak dilakukan secara masal dan tidak bertujuan untuk menambah penghasilan,” katanya.Kalau tujuannya untuk menambah penghasilan, Deny mengatakan dosen ITB itu umumnya “menjual” kepakarannya melalui jasa konsultasi kepakaran dan bukan mengajar di mana-mana.KualitasKalau benar dosen-dosen banyak menghabiskan waktunya mengajar dari kampus ke kampus,bagaimana dia mampu meningkatkan kualitas dirinya? Jangan terlalu berharap banyak. Menurut Askurifai, kalau seorang dosen mengajar di mana-mana, energinya akan habis di jalan. “Jadi tidak ada waktu lagi untuk meningkatkan kualitas diri,” katanya.Menurut dia, akan berbeda jika, tambahan yang disasarnya dalam bentuk pekerjaan lain yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya dosen arsitek membuat konsultan arsitektur, atau dosen hukum menjadi konsultan hukum atau dosen jurnalistik mengadakan pelatihan jurnalistik. Selain apa yang disampaikan kepada mahasiswanya akan sesuai dengan realita di lapangan, juga kemampuannya pun akan lebih terasah. “Idealnya dosen itu mengajar satu hari satu mata kuliah. Jadi benar-benar matang persiapannya. Jika di satu kampus dua mata kuliah, di kampus lain dua mata kuliah lagi. Tidak akan terbayang capenya,” katanya.Menurut di mengajar itu bukan pekerjaan ringan. “Selain ngomong, kita juga harus mendengarkan dan memperhatikan,” tambah Askur.Itu dalam mengajar. Kualitas dosen itu bukan hanya mengajar. Setidaknya ada dua keterampilan lain yang harus juga dimiliki seorang dosen. Kemampuan menulis dan meneliti. Bahkan Subagio, dosen IAIN menambahkan: kemampuan dan frekuensi si dosen dalam memberikan ceramah di luar ruang kuliah.Menurut dosen dan aktivis LSM ini, banyak dosen terjebak dalam text book oriented atau terlalu mengikuti buku teori. “Pake text book tidak terlalu buruk. Buku teks memang dibuat untuk memandu. Tapi jelek manakala terlalu ke teks sehingga mahasiswa sebagai subjek belajar tidak diperkaya. Apalagi kalau ternyata teksnya pun gagal dipahami. Teksnya saja teu kaharti ku dosen, jadi boro-boro bisa berimprovisasi,” katanya.Di luar itu dia mencontohkan, seorang koleganya diberi tugas untuk mengajar satu mata kuliah. Ternyata di tengah jalan tidak sanggup. “Jadi ada double kesalahan. Pertama, fakultas yang memberi tugas tanpa melihat kemampuan, kedua dosen yang bersangkutan yang menerima penugasan. Kalau tidak mampu kenapa mau ditugasi. Mengapa tidak berusaha keras untuk mempelajari, toh buku-buku itu sudah ada,” ujarnya.Selain itu kemampuan bahasa Inggris di kalangan dosen juga banyak yang masih buruk. “Meskipun saya tidak bisa merata-ratakan lantaran belum melakukan survey, tapi saya melihat kemampuan berbahasa Inggris dosen itu masih buruk. Bahkan di tempat saya, jangankan bahasa Inggris, penggunaan bahasa Indonesia pun pikarunyaeun. Ini bisa dilihat ketika beradu argumentasi. Kemampuan bahasa itu kan bisa dilihat ketika bicara. Dari ngobrol sehari-hari pun wawasan orang kan bisa kelihatan,” katanya.“Saya percaya, persoalan buruknya kualitas dosen bukan hanya hanya di tempatnya saja. Juga di tempat lain,” tambahnya. Senada Budi Rajab. Namun dosen Unpad ini bukan melihat dari tiga hal di atas. Menurut dia, ‘kurang baik’nya kualitas dosen itu lebih pada kurangnya upaya untuk menambah informasi dan menambah pengetahuan.Bahkan, tambah dia, seringkali mereka seolah-olah menjadi pekerja rutin dan terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan administratif. Padahal dalam struktur kepegawaian, dosen itu tenaga fungsional. Urusan administratif itu bisa dalam bentuk kegiatan rutin struktural sebagai pegawai universitas atau fakultas, atau juga kegiatan yang merupakan proyek-proyek universitas Menurut Budi, kegiatan memang perlu, tapi kalau rutin tidak. Solusinya: “Universitas dan negara harus memberi peluang dan kemudahan bagi para dosen untuk mengembangkan dirinya, terutama kemampuan intelektualnya,” katanya.Proyek Di luar mengajar, meneliti dan dan mengembangkan diri, masih ada anggapan yang dianggap miring. Dosen bukan hanya mengajar tapi juga ‘menjual’ kepakarannya untuk menambah penghasilan. Kalau perlu ‘cuma’ membatasi minimal mengajar yang dua belas SKS. Sselaras dan sebatas kewajibannya.Tapi ternyata ini pun sah-sah saja. Alasannya selain penghasilan, sebetulnya dosen yang aktif dengan kegiatan proyek memiliki kesempatan sangat berharga untuk mengaplikasikan ilmunya dan sekaligus untuk mendapatkan feed back untuk menyempurnakan pengetahuan teoritisnya. Apalagi jika pekerjaan diluar itu adalah proyek untuk negara. Sebutannya pun menjadi pengabdian.Pengamat pendidikan yang juga dosen ITB, Ir. Eko Purwono, Ms. Arch. S mengatakan setidaknya ada tiga hal yang membuat dosen lebih memilih bekerja di luar kampus daripada mengajar mahasiswanya.Pertama memang untuk menutupi gaji yang kurang, Kedua, Eko melihat hal lain yang lebih penting: Aktualisasi diri. Kalau hanya mengajar, apalagi mata kuliah yang sama selama bertahun-tahun, akan sangat membosankan. “Kalau saya dosen hukum yang kemudian juga praktek jadi pengacara, tentunya saya bisa memperkaya pengetahuan, memperluas wawasan dengan apa yang terjadi di luar. Saya tidak lagi mengajar hanya teks book. Praktek saya akan semakin mengisi kekurang teks book thinking,” katanya. Selain itu, yang ketiga, kata dia, memang sifat orang Indonesia yang tidak bisa bekerja di satu tempat. “Sekalipun gajinya cukup, dia akan tetap mencari yang lain. Mungkin karena budaya kita Bahkan meski dia tekor atau tidak digaji, yang penting aktif di mana-mana. Tidak seperti di tempat lain, kalau sudah satu kerjaan, itu saja yang ditekuni sampai malam,” tandas Ketua Yayasan Masyarakat Pemerhati Pendidikan Indonesia (MP2I) ini. Hanya saja, kata Eko, apakah pekerjaan di luar itu benar-benar merupakan pengabdian atau bukan adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan tegas, sebab istilah pengabdian kepada masyarakat itu bisa saja merupakan kata bersayap. “Contohnya, sebagai dosen arsitek, ketika saya merancang rumah orang miskin, bisa jadi itu pengabdian. Tapi kalau saya merancang rumah walikota lalu dibayar Rp. 3 juta, itu pengabdian bukan?. Kalau saya buka biro arsitek, menerima konsultasi dan pendapatan saya dari itu Rp.10 juta per bulan dibanding Rp. 2 juta per bulan di kampus, itu pengabdian bukan? Kalau menurut saya, itu bukan pengabdian. Tapi perguruan tinggi sendiri masih menganggap itu pengabdian,” katanya.Karena itu pula, bukan hal yang mengherankan kalau kemudian banyak dosen yang bisa berkecukupan lantaran proyek-proyek di luarnya. “Dilihat dari pekerjaannya ada yang bilang pengabdian, tapi isinya proyek semua...,” katanya sambil tertawa. Menurut dia, hingga saat ini belum ada yang mempersoalkan hal ini, perguruan tinggi, ITB misalnya hanya membuat aturan soal jam mengajar. “Setelah itu, terserah kamu,” katanya.Dan itu pun bukan cuma ITB yang bersikap seperti itu. Perguruan tinggi lain pun hampir sama dan sebangun dalam memandang dosennya yang punya kegiatan diluaran. Memperbolehkan selama tidak mangkir dari kewajibannya.Dr. Aloysius Rusli Pembantu Rektor I Universitas Katholik Parahyangan mengatakan sejauh pengamatannya memang ada dosen Unpar yang terlibat dalam sejumlah proyek, termasuk proyek besar seperti Tol Panci dan Jembatan Jawa-Madura. Tapi itu tidak menjadi masalah lantaran dedikasi dosen-dosen itu masih cukup baik. Menurut dia, prosentase dosen yang terlibat proyek itu masih sangat kecil. Itu pun lebih banyak dosen senior. Tapi karena dedikasinya masih bagus, kehadirannya pun lumayan.” Kita menerapkan prosentasi kehadiran mahasiswa kurang lebih 80% maka dosen juga harus sama. Jika tidak, akan tumbuh rasa ketidakadilan,” katanya. Rusli mengatakan dosen-dosen UNPAR jarang “ngobyek”, selain karena penghasilannya memadai, juga karena dosen-dosen Unpar pandai mencari tambahan penghasilan tanpa mengabaikan tugas mengajar. “Kita menerapkan aturan bagi dosen 36 jam per minggu harus ada di kampus. Artinya 6 jam sehari bekerja di kampus, selebihnya bisa mengerjakan yang lain. Saya sendiri bekerja 10 jam sehari, dan dengan kebijakan ini saya merasa bisa,” katanya.Sementara di Unpad kata Hadi, pihak universitas mempersilahkan dosennya punya aktivitas di luar selama kewajibannya sudah dilaksanakan. Itu pun sangat fleksibel. “Dosen Unpad kewajibannya minimalnya memang 12 SKS. Tapi kita fleksibel apalagi dosen itu sebagian besar waktunya dihabiskan di luar kelas. Artinya di bisa melakukan penelitian, menulis, juga termasuk mengajar di tempat lain,” katanya.Menurut dia, dosen memang bisa kaya kalau dia bisa memanfaatkan ilmunya. Menulis buku yang menjadi best seller ataupun mengerjakan proyek-proyek. Tapi itu biasanya terbatas pada dosen yang punya kemampuan luar biasa dan istimewa. Selebihnya jangan pernah berharap akan kaya. “Kalau mau kaya, jadilah pedagang,” katanya.Dosen adalah pekerjaan mulia. Setidaknya begitu hingga kini anggapan masyarakat. Mulia, selain karena mereka adalah orang terpilih, mulia karena melalui dia ilmu bisa tersebar. Sayang, citra belumlah sepadan dengan fakta. Kenyataan masih bicara, banyak dosen yang mesti berepot-repot mencari tambahan. Kalau boleh diistilahkan: Sekali Keluar Rumah Dua Tiga Kampus Terlampaui.*** fridolin berek, suhud darmawan

Tidak ada komentar: